POLICY
MIX DAN KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL & MONETER
Daftar Isi
Daftar Isi....................................................................................................................
i
Kata Pengantar..........................................................................................................
ii
Bab 1 Pendahuluan....................................................................................................
iii
1.1
Latar Belakang..................................................................................................
iii
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................................
iii
1.3
Tujuan...............................................................................................................
iii
Bab 2 Pembahasan.....................................................................................................
1
Bab 3 Kesimpulan......................................................................................................
15
Daftar Pustaka...........................................................................................................
16
Kata Pengantar
Krisis finansial global yang
menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara drastis pada tahun
2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan meningkat
intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain
menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan
berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya
penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran
dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat
merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak
negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging
markets dan fenomena flight to quality dari investor global
di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata
uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar
Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar
valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah
ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan
perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan
ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara
signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya
akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan
berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di
sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor
fiskal (APBN).
Semoga
dengan adanya makalah ini, kita dapat mengetahui apa itu bersuci atau taharah
secara lebih jelas. Sehingga kita menjadi sosok muslim yang selalu bersih dari
najis. Semoga Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang bermanfaat
kepada kita.Amin.
Ucapan
terima kasih kami tunjukan kepada Guru Pembimbing dan kedua orangtua serta
teman-teman sehingga makalah ini dapat selesai tepat waktu.
Malang, 15 April
2011
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam praktek kebijakan di
Indonesia , koordinasi merupakan “ barang
langka”. Ba-nyak pejabat,baik pusat maupun daerah, terjebak dalam strategic myopia. Mereka seolah melihat
dengan “kacamata kuda” alias hanya dalam satu arah saja, hanya mementingkan
de-parteman, dinas, dan daerahnya sendiri tanpa peduli departemen, dinas, dan
daerah lain. Ti-dak akan ada koordinasi
sepanjang yang ada di benak para pengambil keputusan ini adalah berkurangnya
jatah anggaran dan proyeknya masing-masing.
Pola
pikir seperti inilah yang akan menghambat proses terjadinya bauran kebijakan
moneter dan fiskal di Indonesia. Padahal, kondisi perekonomian Indonesia saat
ini mengalami situasi ketidakpastian dan gejolak eksternal., seperti melemahnya
nilai tukar rupiah dan pengaruh resesi
Amerika Serikat. Bauran antara kebijakan moneter dan fiskal yang
sinergis dan berkesinambungan merupakan harga mati bagi terciptanya kestabilan
kondisi makroekonomi Indonesia.
Bauran kebijakan (policy mix)
yang sinergis antara kebijakan moneter dan fiskal diharapkan membantu
perekonomian Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan global. Pelemahan
ekonomi global yang lebih dalam dan kontraksi ekonomi di berbagai sektor diperkirakan
akan mendorong pelemahan kinerja ekspor secara signifikan. Di sisi domestik,
menurunnya penerimaan ekspor, serta tersendatnya sumber pembiayaan perbankan,
akan menyebabkan pelemahan daya beli masyarakat.
Tantangan ke depan makin berat
karena koordinasi moneter dan fiskal harus senantiasa diupayakan secara
konsisten dengan memperhatikan kapasitas ekonomi dan skala prioritas.
Koordinasi perlu diletakkan dalam dimensi kebijakan makroekonomi yang
terintegrasi, dilandasi spirit striking the optimal balance.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana kinerja Policy Mix dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di
Indonesia?
1.3
Tujuan
Mengetahui tentang kinerja Policy Mix dan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN
POLICY
MIX DAN KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL & MONETER
PENTINGNYA
KOORDINASI
Dalam praktek kebijakan di Indonesia
, koordinasi merupakan “ barang langka”.
Ba-nyak pejabat,baik pusat maupun daerah, terjebak dalam strategic myopia. Mereka seolah melihat dengan “kacamata kuda”
alias hanya dalam satu arah saja, hanya mementingkan de-parteman, dinas, dan
daerahnya sendiri tanpa peduli departemen, dinas, dan daerah lain. Ti-dak akan ada koordinasi sepanjang
yang ada di benak para pengambil keputusan ini adalah berkurangnya jatah
anggaran dan proyeknya masing-masing.
Pola pikir seperti inilah yang akan
menghambat proses terjadinya bauran kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia.
Padahal, kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami situasi
ketidakpastian dan gejolak eksternal., seperti melemahnya nilai tukar rupiah
dan pengaruh resesi Amerika Serikat.
Bauran antara kebijakan moneter dan fiskal yang sinergis dan berkesinambungan
merupakan harga mati bagi terciptanya kestabilan kondisi makroekonomi
Indonesia.
Bauran kebijakan (policy mix)
yang sinergis antara kebijakan moneter dan fiskal diharapkan membantu
perekonomian Indonesia dalam menghadapi krisis keuangan global. Pelemahan
ekonomi global yang lebih dalam dan kontraksi ekonomi di berbagai sektor
diperkirakan akan mendorong pelemahan kinerja ekspor secara signifikan. Di sisi
domestik, menurunnya penerimaan ekspor, serta tersendatnya sumber pembiayaan
perbankan, akan menyebabkan pelemahan daya beli masyarakat.
Tantangan ke depan makin berat
karena koordinasi moneter dan fiskal harus senantiasa diupayakan secara
konsisten dengan memperhatikan kapasitas ekonomi dan skala prioritas.
Koordinasi perlu diletakkan dalam dimensi kebijakan makroekonomi yang
terintegrasi, dilandasi spirit striking the optimal balance.
Itulah garis besar butir
pemikiran Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom, saat
dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 15
Desember 2007. Miranda menyampaikan orasi berjudul Koordinasi Kebijakan Moneter
dan Fiskal: Tantangan dan Strategi Pemeliharaan Stabilitas Makro dan
Pertumbuhan Ekonomi untuk Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat.
Pidato Miranda dan buku
terbarunya Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience kini
benar-benar relevan digunakan untuk mengkaji sejauh mana bauran kebijakan
moneter dan fiskal dapat menjadi stimulus perekonomian Indonesia yang
diproyeksikan hanya tumbuh sekitar 5% tahun ini, menurun dibanding 2008 (6,2%).
Harus diakui, di masa pemerintahan
SBY-JK, ketidakstabilan makroekonomi dan ketidakpastian kebijakan ekonomi makro
sudah jauh menurun dibanding masa lalu. Setidaknya, ini tercermin dari survei
Bank Dunia dan laporan Bank Indonesia selama tiga tahun terakhir.
Angka-angka indikator makro
ekonomi pun boleh dikata berada dalam kondisi cukup "terkendali"
meski bukannya tanpa gejolak. Ini terlihat setidaknya dari indikator makro
utama selama 2005-2008, yakni pertumbuhan ekonomi di era SBY-JK tercatat
rata-rata 6% per tahun, jauh lebih tinggi dibanding masa Megawati yang hanya 4%
per tahun, inflasi bulanan year on year berkisar antara 5,77% - 18,38%, BI Rate
antara 8,5% -12,75%, dan rata-rata kurs harian rupiah terhadap dolar AS sebesar
Rp 9.424. Rasio utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan
rasio utang pemerintah terhadap PDB juga terus menurun dari tahun ke tahun.
Perbaikan kinerja neraca pembayaran bermuara pada peningkatan cadangan devisa
yang cukup signifikan dari US$ 34,724 miliar pada 2005 meningkat menjadi US$ 51,6
miliar pada triwulan IV 2008, atau setara dengan 4 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri pemerintah.
KINERJA
MAKRO EKONOMI INDONESIA PASCA KRISIS
A. KRISIS EKONOMI GLOBAL
Seluruh
dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global),
seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang
telah terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa negara yang
sebelumnya menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang mempunyai teknologi yang
canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata, obat-obatan terlihat
hancur perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah bahwa ekonomi
negara-negara tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang
meyebabkan collaps terkena dampak krisis ekonomi global.
Krisis finansial global yang
menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara drastis pada tahun
2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan meningkat
intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain
menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan
berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya
penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran
dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat
merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak
negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di negara-negara emerging
markets dan fenomena flight to quality dari investor global
di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata
uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar
Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar
valas di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah
ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan
perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun momentum pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif perlemahan
ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara
signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya
akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan
berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di
sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor
fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling
cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah pada
sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya
likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)
mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan
volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah
terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah
tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya
upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
Krisis keuangan Amerika
Serikat menyebabkan masalah global keuangan dunia, untuk mengatasi hal tersebut
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan sepuluh
arahan: (1) semua kalangan tetap optimis, dan bersinergi menghadapi
krisis keuangan, (2) tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam
persen, (3) optimalisasi APBN 2009, (4) dunia
usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak, (5) semua
pihak agar cerdas menangkap peluang, (6) galakkan kembali
penggunaan produk dalam negeri, (7) tingkatkan sikap
profesionalisme, (8) kerja sama dalam menghadapi masalah, (9)
tidak melakukan langkah non partisan, (10) komunikasi yang
bijak. Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan bahwa
setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis keuangan
global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand
pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan
dengan perbaikan iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi
pemasaran domestik dan luar negeri dan menyediakan peluang pasar. Langkah
strategis lainnya adalah supply push strategy yang mencakup strategy pendorong
sisi penawaran, ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan
permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya
manusia.
B. PENYEBAB KRISIS EKONOMI GLOBAL
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah
dengan akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas,
Indonesia mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada
keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter – beberapa
waktu yang lalu, paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga
hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab
utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam
merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan
cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini
dicurahkan sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran.
Sementara itu, sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang
juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana
penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan
(growth) ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat
struktur perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal.
Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada
bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat
“dianak-tirikan”, sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang
laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi
melalui serangkaian kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian.
Akibatnya, sektor pertanian tak mampu berkembang secara sehat dalam merespons
perubahan pola konsumsi masyarakat dan memperkuat competitive advantage
produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan
kecenderungan di atas adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik
(economic and political adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah.
Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata telah merusak dan
merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang
telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya
justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi
perekonomian mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan
mengakibatkan arah alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan
yang tidak produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti
ini pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada
intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu
pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi
pasti C telah merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan
oleh perilaku penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin
parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata
juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan
tingginya ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust).
Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap
pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan
pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan
itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap
simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina,
seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dapat dilihat dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan
kebijakan yang ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang
seharusnya berupaya menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru
telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya.
Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan,
sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.
C. DAMPAK YANG DITIMBULKAN OLEH KRISIS EKONOMI
GLOBAL
- Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008
Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar
6,5%, menurut Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian
Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi
perekonomian global yang berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih
mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN secara konsevatif ,
karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung pada
pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia
usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang
tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk
akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti
akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu harga minyak mentah yang masih
akan melambung dan harga pangan dunia yang meroket. Hal ini akan mempengaruhi
harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua komoditas dapat dikendalikan oleh
pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor termasuk yang illegal masuk ke
ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini diperkirakan gejolak pasar Keuangan
dunia belum akan reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan suku bunga
kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan
melebihisatudigit.
Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak
pasti, Raden Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR)
mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran
untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per
barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata
lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis
untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan
melalui pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang
Negara (SUN) disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya.
Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan
negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan
rendahnya daya serap SUN.
Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu
diperhatikan sebagai informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia
yang saat ini sedang bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap
tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk
pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya
asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi
tidak seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008
tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan
DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak mau APBNP 2008 harus direvisi
kembali.
2.
Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian Indonesia
|
Krisis
keuangan yang terjadi di Amerika Serikat sudah terlihat tanda-tandanya
beberapa waktu yang lalu, Tetapi baru dianggap serius oleh pemerintah
Indonesia sejak tanggal 8 Oktober 2008 saat IHSG di BEI turun tajam sampai
10,38 % dan mengharuskan pemerintah menghentikan kegiatan di pasar bursa
modal beberapa hari.
Sebenarnya banyak akibat yang dirasakan oleh Indonesia
dengan adanya krisis keuangan di Amerika serikat , baik akibat positif
seperti turunnya harga minyak dunia yang menembus $ 61 per barel dan akibat
negative seperti turunnya nilai rupiah, berkurangnya nilai export, turunnya
investasi atau terjadi flyingout , namun demikian akibat negatif lebih banyak
dirasakan bagi perekonomian Indonesia terutama bagi sektor riil yang mempunyai
pangsa export, pemerintah harus sungguh-sungguh menangani masalah ini karena
pada akhirnya apabila tidak tertangani dengan benar akan mengakibatkan
distabilitas negara atau sering orang bilang akan terjadi Krisis seri kedua.
Lebih lanjut Ridwan (dosen Ek. Pembangunan UJB)menegaskan
, bahwa harus ada langkah-langkah antisipasi menghadapi krisis keuangan
global anatara lain, tetap menjaga independensi pengambil keputusan, sebisa
mungkin mempertahankan tingkat suku bunga yang ada saat ini, peningkatan pagu
jaminan simpanan pada Lembaga Keuangan Nasional, Penginjeksian secara
besar-besaran likuiditas ke dalam perbankan nasioanal, pemberlakuan kontrol
devisa terbatas , pembentukan lembaga procurement untuk mengatur transaksi
devisa BUMN, keharusan izin bank sentral bagi transaksi arus ke luar modal
dalam jumlah tertentu. Disamping itu diskusi juga merekomendasiakan :
Penyiapan satu skema social safety net yang komprehensif untuk mengantisipasi
full-blown crisis , pemerintah daerah secara lebih erat sebagai mitra dan
pelaksana berbagai kebijakan yang ditetapkan, mewaspadai politik dumping ,
menyiapakan insentif bagi pengusaha lokal untuk menggarap pasar domestik, dan
merekomendasikan untuk mengkaji ulang sistem ekonomi yang selama ini mengekor
pada sistem ekonomi kapitalis.
|
D. CARA MENGATASI KRISIS EKONOMI
GLOBAL
Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih
menjadi berita hangat tanpa melewati 1 (satu)
hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah bukan
berbicara tentang nasib 1 (satu) orang bahkan lebih dari itu semua karena ini
menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan komentar pun dilontarkan
di berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank
Indonesia) Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan
10 langkah untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya:
1.
Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2.
Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3.
Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4.
Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu bukanlah semata
adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi
bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat
meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai
Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali
in sudah sangat jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana
pengangguran semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa
industri mulai merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja
tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun
mulai menarik saham dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian
kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak
naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena
bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga
dengan bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat
para koruptor Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu. How
pity a Country !”
Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal
sebagai negara Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih
mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu
kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang kurang
berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam
lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil laut
belum dapat dikelola dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang
memadai sehingga negara-negara lain meraup keuntungan dari hasil menangkap
hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum lagi persediaan minyak yang
semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang masih dikuasai
negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah ruah
tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.
Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi
global telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai
saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global
yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang
krisis kita yang ”hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga
menghentikan operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak
Krisis Ekonomi Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari
beberapa uraian diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya potensi
menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat
indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait untuk
meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional
sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat
mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan minyak bumi
terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor Terbesar”.
E. INDONESIA DAN PEREKONOMIAN
Thomas R. Rumbaugh, Division Chief IMF untuk kawasan Asia
Pasifik, mengatakan performa ekonomi RI selama kuartal 1/2009 dengan catatan
laju PDB sebesar 4,4%, menjadi salah satu pertanda kuatnya perekonomian
Indonesia dalam situasi krisis. Beliau mengungkapkan bahwa, dengan melihat itu,
revisi ke atas proyeksi laju ekonomi Indonesia, sekarang laju PDB dapat tumbuh
pada kisaran 3%-4% tahun ini.
Dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis dana
moneter Internasional itu pada April, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009
diproyeksikan 2,5%, terendah dibandingkan dengan proyeksi lembaga penelitian
dan multilateral lain. Adapun pemerintah Indonesia mematok proyeksi PDB tahun
ini pada kisaran 4%-4,5%. Menurut Rumbaugh, proyeksi baru IMF dibuat dalam
kisaran karena masih ada ketidakpastian dalam situasi perekonomian dunia.
Meski begitu, dana moneter yang berbasis di Washington DC
itu memperkirakan tekanan inflasi 2009 di Indonesia akan terus moderat ke angka
sekitar 5%. Di tengah krisis ekonomi dunia, pemerintah dan bank sentral dinilai
telah cukup berhasil dalam melakukan langkah antisipasi dibandingkan dengan
Negara-negara lain.
Dari sisi kebijakan moneter dan nilai tukar, IMF menilai
pemangkasan BI Rate 250 basis poin sejak Desember 2008 sebagai langkah yang
tepat. Akan tetapi, dari sisi fiskal dia mengingatkan pentingnya pemerintah
menggenjot penyerapan belanja langsung stimulus fiskal pada periode semester
II/2009. Pasalnya, kinerja ekonomi kuartal I yang cukup baik lebih didukung
oleh faktor stimulus pemotongan pajak yang telah terserap dan juga pemilu
legislatif.
Syahrial Loetan, sekretaris Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Sestama Bappenas, menilai revisi proyeksi laju PDB Indonesia oleh IMF
menjadi lebih baik merupakan pertanda lembaga itu menyadari kesalahan proyeksi
sebelumnya.
Penguatan arus dan masuk ke pasar modal ikut mengerek nilai
tukar rupiah hingga menembus level Rp9.000 atau menguat 21,5% dari posisi
tertinggi pada November 2008 yang mencapai Rp12.650 per dolar AS.
Penggerakan rupiah untuk pertama kalinya sejak perdagangan
Oktober 2008 terapresiasi melampaui Rp10.000 setelah IHSG menguat 8 hari
berturut-turut ke level 2.078,93, atau mencetak rekor kenaikan simultan
terpanjang sejak periode bullish 2007.
Indeks secara kumulatif mengumpulkan 187,96 poin atau naik
9,94% dalam 6 hari terakhir, kenaikan itu lebih tinggi dari rally
simultan terpanjang 29 Juni-10 Juli pada 2 tahun lalu sebesar 143,1 poin
(6,7%).
2. Ekonomi Indonesia dan Demokrasi
Indonesia saat ini, tulis Boediono, masih berada pada zona
resiko tinggi untuk kehidupan demokrasi. Hal ini terlihat dari segi pendapatan
per kapitanya yang masih kurang mendukung terselenggaranya demokrasi secara
baik. Dengan pendapatan per kapita sekitar US$3.987 (International Monetary
Fund, 2008) GDP Purshasing Power Parity (PPP) per kapita Indonesia masih berada
bahkan di bawah negara-negara seperti Vanuatu dan Fiji, Indonesia masih berada
di zona rawan dalam demokrasik. Kenapa? Menurut penelitian, batas kritis bagi
kelangsungan demokrasi di dunia adalah apabila pendapatan per kapita sebuah
Negara mencapai US$6.600.
Dari sebuah studi ekonomi dan demokrasi, tercatat bahwa pada
kurun 1950-1990, rezim demokrasi di Negara-negara dengan penghasilan per kapita
US$1.500 (dihitung berdasarkan PPP tahun 2001) hanya mempunyai harapan hidup 8
tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita US$1.500-US$3.000, rezim demokrasi
dapat bertahan rata-rata 18 tahun dan pada tingkat pendapatan per kapita di
atas US$6.000, daya hidup system demokrasi di sebuah Negara jauh lebih besar
dan probabilitas kegagalannya hanya 1:500.
Posisi
Indonesia
Dengan pendapatan per kapita Indonesia yang diperkirakan
sekitar US$4.000, dimana batas krisis bagi demokrasi sekitar US$6.600, maka
Indonesia belum mencapai 2/3 jalan menuju batasan bagi demokrasi.
Oleh karena itu, menurut Boediono, pada tahap awal kehidupan
demokrasi, Indonesia sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu
pertumbuhan ekonomi dan sejauh mungkin menghindari krisis.
Hal ini akan sangat mengurangi resiko kegagalan demokrasi.
Hal terbaik yang harus dilakukan, kata Boediono, adalah secepatnya membangun
perekonomian agar income per kapita bangsa Indonesia mencapai batas aman bagi
pemerintah demokrasi, yaitu US$6.600.
Menurut Boediono, pertumbuhan ekonomi akan membantu
tumbuhnya kelompok pembaharu dengan catatan: pertama, pertumbuhan itu menyentuh
dan broad-based; dan kedua prosesnya mengandalkan kegiatan berdasarkan hasil
kerja, inisiatif, dan kekuatan sumber daya manusia—bukan dengan penjualan
kekayaan alam, utang luar negeri, dan “rezeki nomplok” lainnya.
3. Indonesia Cepat Lalui Krisis
Menurut Institute for Management Development (IMD), lembaga think
thank dan pendidikan yang berpusat di Swiss, Indonesia seperti
Negara-negara lain di Asia Tenggara, memiliki daya tahan yang cukup baik.
Indonesia juga dianggap memiliki kemampuan untuk pulih dengan cepat karena
telah mengalami krisis keuangan cukup parah pada 1997/1998 sehingga lebih baik
dalam mengantisipasi krisis saat ini.
IMD mengatakan bahwa, Negara-negara seperti itu seringkali
mampu untuk beradaptasi dan pulih pada masa sulit. Penjelasan lain adalah
karena mereka telah mengalami krisis keuangan cukup parah dan krisis properti
satu decade lalu dan jadi lebih waspada dalam kebijakannya.
Stress test
versi IMD merupakan analisis untuk mengukur sejauh mana Negara dapat melalui
krisis dan memperbaiki daya saingnya pada masa depan. Analisis dengan cakupan
survey 57 negara itu mengambil Indikator proyeksi ekonomi, pemerintah, bisnis,
dan masyarakat sebagai basis penilaiannya. Dari empat faktor yang dinilai dalam
stress test, daya tahan Indonesia untuk indikator pemerintah berada di
peringkat-26. Adapun indikator lain seperti proyeksi ekonomi, bisnis dan
masyarakat, masing-masing masuk ke posisi 33,36, dan 33.
Mentri Koordinator bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati
optimis peringkat stress test Indonesia akan lebih baik pada tahun depan
karena survey IMD dilakukan terhadap indicator ekonomi sepanjang 2008, ketika
negeri ini masih diliputi dampak krisis cukup parah. Kenyataannya, katanya,
kinerja perekonomian pada kuartal I/2009 dan proyeksi ekonomi RI sepanjang
tahun ini lebih baik dibandingkan dengan Megara-negara lain.
Perekonomian Indonesia pada kuartal II/2009 diproyeksi
sedikit melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, kendati secara tahunan
diyakini masih akan tumbuh 4%. Direktur Perencanaan Makro Kemeneg PPN/Kepala
Bappenas Bambang Prijambodo secara pribadi meyakini pertumbuhan ekonomi pada
kuartal II/2009 masih akan positif meski tidak sebesar realisasi kuartal I/2009
yang mencapai 1,6%. Secara tahunan (year-on-year) juga demikian,
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I/2009 yang sebesar 4,4%,
kemungkinan realisasi pada kuartal II/2009 lebih rendah di kisaran 4,4%.
Konsumsi masyarakat masih akan menjadi pendorong utama dari pertumbuhan ekonomi
kuartal II/2009 yang masih terjaga dengan adanya laksana pemilihan umum. Ekonom
Indef Ikhsan Modjo, mengatakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2009 kemungkinan
akan turun sedikit karena ekspor dan investasi masih lemah.
4. Kebijakan Moneter Belum Cukup
Longgar
Seiring dengan semakin terkendalinya tekanan inflasi, BI
sudah menurunkan bunga acuannya dengan agresif. Pada November 2008, suku bungan
acuan BI masih di level 9,5 persen. Bulan Juni ini suku bunga acuan BI sudah
turun ke 7 persen. Ini adalah level terendah dalam sejarah suku bunga acuan BI.
Sudah barang tentu langkah BI menurunkan suku bunga dengan agresif tersebut
disambut baik oleh banyak pihak. Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan
akan diikuti oleh bunga-bunga yang lain, termasuk bunga pinjaman. Namun,
harapan itu tak kunjung terwujud. Banyak kalangan yang merasa kecewa melihat
kenyataan yang ada. Suku bunga pinjaman tidak turun secepat yang diharapkan.
Dengan suku bunga acuan BI pada level 7 persen, seharusnya
suku bunga pinjaman berada pada kisaran 11,9-12 persen. Angka suku bunga
pinjaman itu dihitung berdasarkan respons sistem perbankan negeri ini terhadap
kebijakan moneter BI periode 2006-2008. Saat ini bunga pinjaman masih ada yang bertahan
di atas 16 persen.
Dampak dari belum turunnya bunga pinjaman secara signifikan,
sector riil kita menjerit meminta suku bunga pinjaman diturunkan dengan segera.
Memang bunga yang tinggi membuat biaya bunga (cost of capital) menjadi
tinggi. Hal ini juga membuat produk domestic sulit bersaing dengan produk
Negara-negara lain yang bunga pinjamannya jauh lebih rendah dari bunga pinjaman
disini. Daya saing produk kita pun tergerus dan sector manufaktur kita menjadi
sulit untuk tumbuh lebih cepat.
Di Indonesia, misalnya, BI mengurangi monetary base
dengan cara menerbitkan sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penerbitan SBI akan
mengurangi uang dari system perekonomian kita karena bank yang membeli SBI akan
menyetorkan uang ke BI sebesar SBI yang dibelinya. Uang yang diterima BI
tersebut akan disimpan di BI sehingga ada uang yang menjadi tidak dapat
digunakan oleh perbankan kita. Suplai uang di system financial kita pun menjadi
berkurang.
Bila dilihat dari suku bunga saja, BI memang tampak agresif
melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, kalau dilihat dari sisi suplai uang,
kebijakan moneter BI sebenarya masih kurang ekspansif. Hal itu diperlihatkan
dari monetary base yang tidak tumbuh, bahkan pertumbuhannya negative
dalam beberapa bulan terakhir ini. Itu berarti BI tidak memompa cukup uang ke
system agar suplai uang meningkat.
Salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan monetary base
negative adalah terjadinya arus modal keluar pada Oktober 2008 yang menyebabkan
rupiah melemah secara signifikan waktu itu. Tampaknya BI melakukan intervensi
dengan menjual dollarnya atau menyerap rupiah dari pasar. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya suplai uang di system finansial kita. Kenaikan itu diperburuk pula
oleh kenaikan SBI outstanding (total jumlah SBI yang ada) sejak Oktober
2008, yang berarti BI menarik likuiditas dari system finansial kita lebih
banyak lagi.
SBI outstanding terus mengalami kenaikan sejak saat
itu. Pada September 2008 SBI outstanding berjumlah sekitar Rp 116
Triliun. Pada Juni 2009, SBI outstanding sudah naik menjadi sekitar Rp.
239 triliun. Pada saat bersamaan, keterlambatan realisasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) juga turut memperburuk keadaan. Akibatnya, pendapatan
pemerintah dari pajak ataupun dari surat utang Negara (SUN) tertahan di BI.
Pada
Januari 2009 jumlah uang pemerintah di rekening pemerintah di BI Rp. 104
triliun. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 187 triliun yang ditarik keluar dari
system finansial kita pada periode tersebut.
5. Sektor Perbankan
Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank
Indonesia Halim Alamsyah mengatakan angka sementara kredit bulan kelima tahun
ini menunjukkan tanda-tanda kenaikan walaupun belum secepat tahun lalu.
Berdasarkan catatan bisnis, Halim pernah menyampaikan pertumbuhan kredit
dalam 4 bulan pertama tahun ini hanya naik Rp.5 triliun. Artinya dalam sebulan
realisasi kredit perbankan rata-rata hanya naik Rp. 1,25 triliun.
Dengan realisasi kredit Mei sebesar Rp.3 triliun berarti ada
peningkatan hamper tiga kali lipat dibandingkan dengan rata-rata 4 bulan
sebelumnya, sehingga pembiayaan perbankan dalam 5 bulan ini tumbuh sekitar Rp.
8 triliun.
Total kredit perbankan hingga Mei menjadi Rp. 1.361,6
triliun—termasuk pembiayaan penerusan. Namun, angka itu masih tercatat menurun
jika dibandingkan dengan posisi November 2008 yang pernah mencapai titik puncak
sebesar Rp. 1.371,9 triliun.
Halim menyampaikan kondisi likuiditas perbankan masih belum
banyak berubah dibandingkan dengan posisi April, tapi secara tahunan dana pihak
ketiga masih tumbuh 17%-18%. Dengan pertumbuhan sebesar 18% apabila
dibandingkan dengan posisi Mei 2008 sebesar Rp. 1.505,6 triliun, dana pihak
ketiga perbankan saat ini menjadi Rp. 1.776,6 triliun. Namun angka itu menyusut
jika dibandingkan Maret 2008 yang sebesar Rp. 1.786 triliun.
6. Rasio Utang RI Turun 30%
Pada 1999 rasio utang Indonesia 100% karena saat itu
pemerintah harus mengeluarkan surat utang baru sekitar Rp. 600 triliun untuk
menyelamatkan perbankan nasional. Setelah itu rasio terus menurun. Menkeu
mengatakan bahwa, semua pemerintahan, mulai dari Presiden Habibi, Gusdur, Ibu
Megawati, hingga sekarang memiliki kebijakan yang sama, menurunkan rasio
utang-utang.
Tahun 2003, rasio utang Indonesia terhadap PDB 61%, memasuki
2008 menjadi 33% terhadap PDB, dan tahun ini pemerintah berniat menurunkan
menjadi 32%. Total utang pemerintah Indonesia saat ini hingga 29 Mei 2009
mencapai Rp. 1.700 triliun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliun dan
surat berharga Negara (SBN) Rp. 968 triliun, yaitu pinjaman luar negeri Rp. 730
triliun dan SBN Rp. 906 triliun.
MODEL
LEADER-FOLLOWER
Urgensi koordinasi kebijakan fiscal
akan sangat tampak ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpastian dan
gejolak eksternal, seperti lonjakan harga minyak maupun volatilitas kurs. Dalam
literatur ekonomi makro dikenal bauran kebijakan dengan model koordinasi
“leader-follower”. Artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, dimana
dalam satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan
tantangan lingkungan eksternal, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya.
Ketika terjadi lonjakan harga minyak, otoritas fiscal perlu
mengubah pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter yang
seharusnya tidak menggangu stabilitas makkro ekonomi.
Sebaliknya, di tengah gejolak kurs, otoritas moneter perlu
menjadi leader dengan berbagai upaya dalam intervensi langsung di pasar valas
dan obligasi, sedangkan otoritas fiskal menjadi follower, dengan mempersiapkan
jaring pengaman dan mengurangi dampak lanjutan dari resiko sistemik di sektor
finansial.
Jika kedua otoritas menerapkan kebijakan ketat, yang akan
terjadi adalah inflasi rendah (low
inflation) sedangkan tenaga kerja sedikit, dengan kata lain.pengangguran
tinggi (high unemployment).
Sebaliknya bila masing-masing otoritas menerapkan kebijakan longgar, maka
tenaga kerja menjadi tinggi (low
unemployment).Ini artinya pengangguran yang ada di Indonesia rendah. Namun,
keluaran lain dari kebijakan longgar adalah tingkat inflasi akan menjadi
tinggi.
Jika otoritas fiskal menerapkan kebijakan longgar, maka
inflasi akan berada pada tingkat yang sedang (moderat) dan tenaga kerja juga berada pada tingkat yang sedang (moderat). Hasil yang sama juga akan
terjadi jika otoritas fiskal menerapkan kebijakan longgar sedangkan otoritas
moneter menerapkan kebijakan ketat.
Untuk mensinergikan konsep leader-follower dengan monetary
fiscal game perlu ditambahkan
asumsi bahwa otoritas fiskal adalah first
mover. Dengan tambahan asumsi ini, maka penggabungan konsep leader-follower dan monetary fiscal game
menciptakan sebuah mekanisme koordinasi antara otoritas fiskal dan otoritas
moneter. Diharapkan dengan mekanisme koordinasi ini, perekonomian Indonesia,
baik sektor moneter maupun fiskal , dapat resisten terhadap dampak krisis keuangan
global.
STIMULUS
FISKAL
Krisis keuangan global membawa
kembali ingatan ke depresi besar pada 1930-an. Menurut Keynesn yang harus
dilakukan adalah kebijakan yang bersifat kontrasiklus. Di banyak negara,
termasuk Indonesia, bank sentral mulai menurunkan tingkat bunga dan pemerintah
akan meluncurkan sejumlah kebijakan stimulus fiskal.
Pemerintah memutuskan 31 sektor industri untuk mendapatkan
stimulus fiskal berupa insentif perpajakan dalam bentuk Pajak Pertambahan Nilai
Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM DTP).
Sebanyak 31 sektor industri itu untuk stimulus Rp12,5T. Insentif ini
diberikan kepada bahan-bahan baku untu kegunaan sektor industri di
berbagai industri. Untuk sektor-sektor yang mendapatkan insentif PPN DTP
adalah:
1.
Bahan Baku Baja
2.
Mesin Peralatan untuk EPC
3.
Mesin mini pembuat es untuk
perikanan
4.
Mesin gudang pendingin untuk
perikanan
5.
Kain untuk industri untuk pakaian
jadi
6.
Kulit, sol komponen karet untuk
industri alas kaki
7.
Bahan baku dan komponen kapal
8.
Bahan baku untuk industri karoseri
9.
Bahan baku perak untuk industri
kerajinan
10. Komponen dan bahan baku untuk gerbong KA
11. Bahan baku untuk produksi film
12. Crumb rubber
13. Rotan untuk industri mebel
14. Pakan ikan / udang
15. Bahan bakar nabati non subsidi
16. Minyak goring
17. Migas dan panas bumi
Sementara itu, untuk 14 sektor yang mendapatkan BM DTP
sebesar Rp2,4T adalah:
1.
Ballpoint
2.
Bahan baku dan komponen untuk
pembuatan PLTU kapasitas kecil
3.
Bahan baku dan komponen untuk
industri alat berat
4.
Bahan baku susu (skim milk powder dan full cream)
5.
Bahan penolong methylin mercaptide
6.
Bahan baku dan komponen industri
otomotif
7.
Komponen elektronika
8.
Telematika (fiber optic dan komponen
telekomunikasi)
9.
Bahan baku dan komponen untuk kapal
10. Bahan penolong untuk industri sorbitol
11. Bahan baku nuntuk peralatan dan produksi film
12. Listrik
13. Alat kesehatan
14. Pesawat terbang
ARAH
KEBIJAKAN MONETER
Perkembangan inflasi Indonesia selama 7 tahun belakangan ini
sangat berfluktuasi. Pada tahun 2002, tingkst inflasi 11,80%. Kemudian
penurunan yang tajam menjadi 6,8% pada tahun 2003 dan mrnjadi 6,1% pada tahun
2004. Namun, pada tahun 2005 naik sangat tinggi menjadi 10,5% dan menjadi
13,1% pada tahun 2006 akibat kenaikan
harga BBM pada tahun 2005. Pada tahun 2007turun kembali menjadi 6,3% . Kemudian
tahun 2008 meningkat menjadi 11,06%. Peningkatan inflasi pada tahun 2008 jelas
sekali akibat imbas dari krisis keuangan global melanda dunia.
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi suplai (cost
push inflation), dari sisi permintaan (demand
pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan
oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara
mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah, dan
terjadi negative supply shocks akibat
bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand
pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap
ketersediannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan
total lebih besar dari kapasitas perekonomian.
KESIMPULAN
PERLUNYA
META POLICY MIX
Urgensi koordinasi kebijakan moneter
dan fiscal amat diperlukan ketika ekonomi Indonesia menghadapi ketidakpstian
dan gejolak eksternal, sepeti lonjakan harga minyak maupun volatilitas kurs.
Dalam literatur ekonomi makro dikenal bauran kebijakan model koordinasi “leader-follower”. Artinya koordinasi
harus mengacu kepada urutan tindakan kebijakan, dimana salah satu otoritas harus
melahirkan kebijakan terlebih dahulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal
, baru direspon oleh otoritas kebijakan lainnya.
Sekarang ini dibutuhkan tidak hanya policy mix makro, namun koordinasi
kebijakan pada lingkungan meta ekonomi. Lingkungan meta ini mencakup antisipasi
terhadap krisis keuangan global, natural
disruption, sektoral, dan daerah.
Koordinasi lintas sektor dan daerah
amat dibutuhkan karena pola perencanaan Indonesia bersifat sektoral dan
melibatkan 500-an kabupaten/kota serta 33 propinsi yang memiliki banyak
perbedaan sehingga diperlukannya sang pemimpin untuk menjadi dirijen dalam
orkesthra kebijakan makro sektoral dan daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
www.google.com/mudrajad
kuncoro/ekonomika indonesia
www.investorindonesia.com
0 Komentar:
Post a Comment