SINOPSIS FILMNYA:
Lima segmen yang tidak
memiliki kaitan satu sama lain memotret tentang kehidupan masyarakat di kota
metropolis, Jakarta, di kala menjelang Maghrib. Salman Aristo yang bertindak
sebagai sutradara sekaligus penulis skenario mengangkat kelima kisah ini
berdasarkan realita yang sering terjadi di perkampungan Jakarta. Sedikit bumbu
disana sini yang mungkin terkesan agak berlebihan masih bisa dimaklumi agar
kisah menjadi lebih menarik. Lelah pulang dari kerja setelah tiga hari lembur,
yang diinginkan oleh Iman (Indra Birowo) hanyalah berhubungan seks dengan
istrinya, Nur (Widi Mulia). Namun impiannya itu mendadak buyar saat mendapati
Nur direpotkan oleh bayi mereka yang tak kunjung berhenti menangis. Saat
segalanya tampak mulai beres, adzan Maghrib berkumandang. Iman pun uring -
uringan. Sementara itu, Pak Armen (Sjafrial Arifin), seorang pemilik warung
sekaligus penjaga mushola, kedatangan pelanggan yang sedang teler, Baung (Asrul
Dahlan). Keduanya bercakap - cakap mengenai pekerjaan hingga kematian. Baung
merasa aneh dengan Pak Armen yang bersedia mengurus mushola yang hampir tak
pernah dikunjungi oleh warga kampung.
Penjaja nasi goreng
yang terkenal karena kegurihannya, Aki, tak kunjung datang. Lima warga sebuah
komplek perumahan yang merupakan penggemar berat nasi goreng Aki memutuskan
untuk menunggunya di taman. Tapi tampaknya Aki tidak datang hari itu. Kelima
warga ini pun terpaksa berkenalan satu sama lain. Suatu hal yang ironis.
Meskipun telah bertetangga dalam hitungan tahun, mereka tak pernah saling
mengenal. Dan sayangnya, ini sebuah kenyataan. Individualistis telah menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta, selain kemacetan lalu lintas
tentunya. Di segmen berikutnya kita dikenalkan kepada Ivan (Aldo Tansani),
potret seorang bocah yang enggan mengakui kelemahannya dan malah bertindak
bodoh untuk menutupi kelemahannya sendiri. Karakter macam ini kerap kita temui
dalam kehidupan sehari - hari, so real. Ivan membolos dari madrasah demi
bermain play station. Tapi yang terjadi kemudian adalah rental langganannya
penuh. Dia pun mengarang kisah tentang seramnya Maghrib untuk mengusir para
pelanggan. Berhasil. Namun saat adzan Maghrib mulai berkumandang, bulu kuduk
Ivan berdiri. Dia kena batunya.
Sebagai penutup, kita
disodori akting memikat dari Reza Rahadian dan Adinia Wirasti. Mereka
memerankan dua sejoli yang telah berpacaran selama tujuh tahun tapi belum juga
mendapat kepercayaan dari orang tua masing - masing untuk melanjutkan ke
jenjang berikutnya. Setting-nya sangat minimalis, di dalam mobil. Cekcok
terjadi sepanjang perjalanan mereka menuju tempat pernikahan kerabat. Si cewek
mulai merasa bahwa kekasihnya tidak menganggap hubungan mereka secara serius.
Saat si cowok memutuskan untuk mengambil jalan pintas dan malah justru nyasar,
tensi meninggi. Si cewek menyebut kekasihnya sebagai pria yang tidak mengerti
arti prioritas. Apakah Jakarta Maghrib lantas diakhiri begitu saja ? Tentu
tidak. Ada segmen tambahan bertajuk Ba'da yang menjadi titik temu antara kelima
kisah setelah masing - masing menemukan Maghrib-nya sendiri - sendiri serta
membuka misteri hilangnya sosok Aki sang penjual nasi goreng dari segmen
ketiga, Menunggu Aki.
Lagi - lagi saya
bermasalah dengan ending. Salman Aristo mengakhiri segmen Adzan dengan cukup
menyentuh sekaligus terkesan dipaksakan. Apakah seorang preman pemabuk yang
telah lama tidak 'bersentuhan' dengan agama mendadak tobat hanya dalam hitungan
menit ? Mungkin bisa saja terjadi, tapi yang terjadi setelahnya lah yang agak
janggal. Oke, mungkin lebih baik saya lupakan saja hal ini karena toh tak
mempengaruhi film secara keseluruhan. Salman Aristo menunjukkan kebolehannya di
film ini. Menjadi film panjang pertamanya, Jakarta Maghrib sama sekali tak
mengecewakan. Dibalik kisahnya yang sederhana dan sedikit konyol, tersimpan
beberapa dialog cerdas yang menohok. Beberapa kali Salman Aristo memberi
kritikan terhadap kondisi perfilman Indonesia yang memprihatinkan. Paling jelas
digambarkan dalam segmen terakhir, Jalan Pintas, yang berisi keluhan tentang
perfilman lokal yang dipenuhi dengan genre horror seks serta bagaimana
perjuangan para filmmaker yang sedang merintis karir dalam menghadapi cibiran
masyarakat yang menganggap bahwa pekerjaan mereka adalah sesuatu yang sia - sia
dan tak ada artinya.
Dua dialog yang paling lucu
adalah saat Iman melihat Adinia Wirasti menangis, "perempuan kalau sudah
menangis saja merasa yang paling bener," atau ketika Pak Armen berdialog
dengan Baung, "sepertinya hanya saat Maghrib dimana orang Jakarta
melakukan jama'ah di mushola." Kenyataannya, ini memang sungguh terjadi
dan menjadi bagian sehari - hari dari masyarakat. Salman Aristo mencoba untuk
membuat film debutnya ini senyata dan sedekat mungkin dari masyarakat. Kisah di
setiap segmen bercermin dari apa yang terjadi dan kepecayaan dalam masyarakat.
Tidak baik menidurkan bayi di kala Maghrib, Mushola yang hanya ramai dikunjungi
saat Maghrib, kehidupan sosial warga Jakarta yang individualistis, makhluk
halus yang bergentanyang kala Maghrib menjelang dan kritikan terhadap ego laki
- laki yang kelewat besar. Ini semua dirangkum menjadi sebuah tontonan yang
menarik dalam Jakarta Maghrib. Debut penyutradaraan yang sukses dan layak
mendapatkan apresiasi lebih. Salman Aristo membuktikan bahwa dia tidak hanya
jago di atas kertas saja.
0 Komentar:
Post a Comment